PENDIDIKAN INKLUSI; HUMANISASI ANAK BERKEPRIBADIAN KHUSUS
oleh: Kang Awie
Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III
ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan.
Menjadi hal yang tak asing
lagi bagi kita semua, barangkali ini merupakan sedikit refleksi atas kenyataan
yang tak kita sadari. Beruntung kita bisa mengenyam pendidikan yang menuntun
kita menuju insan kamil. Menjadi manusia mandiri yang memiliki “kesanggupan
untuk berdiri sendiri-tidak bergantung pada pertolongan orang lain”
(Tauchid, 1963: 37). Proses pendidikan seperti ini barangkali menjadi hal yang
asing bagi anak berkepribadian khusus (ABK). Padahal telah disebutkan di atas
bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama. Tidak hanya
sebatas permasalahan kurangnya sekolah yang mampu menerima anak/siswa yang
berkepribadian khusus (ABK), namun penyediaan sekolah khusus pun hanya sebatas
di kot-kota besar dan belum menjangkau di daerah-daerah terpencil.
Selama ini penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkepribadian khusus memang telah disediakan oleh
pemerintah. Misal salah satu lembaga formal pendidikan ini yakni Sekolah Luar
Biasa (SLB). SLB yang telah ada sampai saat ini yaitu: SLB Tunanetra, SLB
Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda.
Keberadaan sekolah ini pun masih tersasa belum mampu memenuhi hak pendidikan
atas setiap warga negara. Pertama, lokasi SLB masih berada di sekitar
kota-kota bersar saja/tingkat Kabupaten. Hal ini belum bisa dijangkau bagi
ABK di daerah-daerh terpencil. Yang
kedua Alasan klasik yakni biaya. Permasalahan biaya sudah menjadi rahasia
umum. Kesejahteraan tidak akan terselenggara saat sumber daya manusianya masih
berkualitas rendah, tentunya dalam hal ini pendidikan menjadi peran utamanya.
Keberadaan SLB memang
sangat membantu akan pengakuan keberadaan anak berkepribadian khusus dalam
memperoleh hak pendidikan. Akan tetapi, dalam realitanya dikotomi lembaga
pendidkan antara sekolah biasa dan sekolah luar biasa (SLB) menjadikan semakin
jelasnya pengucilan anak berkepribadian khusus (ABK). Keberadaannya dalam
masyarakat masih diakui sebagai anak yang berbeda dan jarang orang yang mau
bergaul/peduli terhadap mereka. Dengan kata lain belum ada pengakuan positif
atas mereka. Karena tidak terbiasanya bergaul dengan anak-anak yang
berkepribadian khhusus. Padahal mereka sangat membutuhkan pengakuan tersebut
sebagai mausia seutuhnya.
Pendidikan Inklusif solusinya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan peluang baru bagi pendidikan
anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan
bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan
pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif
merupakan penyelenggaraan pendidikan yang mampu menampung siswa ABK untuk
belajar bersama secara berdampingan dengan anak normal dalam satu atap sekolah
yang sama. Ini menjadi pembelajaran timbal balik di antara keduanya. Siswa yang
normal mampu meneriama keberadaan siswa ABK, dan sebaliknya bagi siswa ABK
memperoleh kesempatan belajar yang sama porsinya dengan siswa yang normal. Ini
merupakan pembelajaran realistis penerimaan dan pengakuan ABK di masyarakat.
Meski banyak kendala bagi
sekolah dalam mengadakan pendidikan inklusi, namun pengembangannya terus
diperbaiki. Karena memang membutuhkan tenaga pengajar yang ekstra juga. Baik
kompetensi keguruannya sebagai tenaga lapangan yang berhadapan langsung dengan
peserta didik, mupun kompetensi sekolah sebagai lembaga yang harus menyediakan
sarana prasarana (sarpras) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Salah satu karakteristik terpenting dari
sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap
kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002)
mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
2. Mengajar kelas yang heterogen
memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan
dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan
dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan
yang berkaitan dengan isolasi profesi.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan
orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Pendidikan inklusi
merupakan bentuk pengakuan terhadap rasa kemanusiaan. Pengakuan inilah yang
menjadi peluang bagi anak berkepribadian khusus untuk mengeksplorasi dirinya
sebagaimana manusia normal.
Menghilangkan jarak di antara keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar