Utekke Global, Lakune Lokal

Sabtu, 30 Juni 2012

PENDIDIKAN INKLUSI; HUMANISASI ANAK BERKEPRIBADIAN KHUSUS


PENDIDIKAN INKLUSI; HUMANISASI ANAK BERKEPRIBADIAN KHUSUS
oleh: Kang Awie

Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Menjadi hal yang tak asing lagi bagi kita semua, barangkali ini merupakan sedikit refleksi atas kenyataan yang tak kita sadari. Beruntung kita bisa mengenyam pendidikan yang menuntun kita menuju insan kamil. Menjadi manusia mandiri yang memiliki “kesanggupan untuk berdiri sendiri-tidak bergantung pada pertolongan orang lain” (Tauchid, 1963: 37). Proses pendidikan seperti ini barangkali menjadi hal yang asing bagi anak berkepribadian khusus (ABK). Padahal telah disebutkan di atas bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama. Tidak hanya sebatas permasalahan kurangnya sekolah yang mampu menerima anak/siswa yang berkepribadian khusus (ABK), namun penyediaan sekolah khusus pun hanya sebatas di kot-kota besar dan belum menjangkau di daerah-daerah terpencil.
Selama ini penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkepribadian khusus memang telah disediakan oleh pemerintah. Misal salah satu lembaga formal pendidikan ini yakni Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB yang telah ada sampai saat ini yaitu: SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Keberadaan sekolah ini pun masih tersasa belum mampu memenuhi hak pendidikan atas setiap warga negara. Pertama, lokasi SLB masih berada di sekitar kota-kota bersar saja/tingkat Kabupaten. Hal ini belum bisa dijangkau bagi ABK  di daerah-daerh terpencil. Yang kedua Alasan klasik yakni biaya. Permasalahan biaya sudah menjadi rahasia umum. Kesejahteraan tidak akan terselenggara saat sumber daya manusianya masih berkualitas rendah, tentunya dalam hal ini pendidikan menjadi peran utamanya.
Keberadaan SLB memang sangat membantu akan pengakuan keberadaan anak berkepribadian khusus dalam memperoleh hak pendidikan. Akan tetapi, dalam realitanya dikotomi lembaga pendidkan antara sekolah biasa dan sekolah luar biasa (SLB) menjadikan semakin jelasnya pengucilan anak berkepribadian khusus (ABK). Keberadaannya dalam masyarakat masih diakui sebagai anak yang berbeda dan jarang orang yang mau bergaul/peduli terhadap mereka. Dengan kata lain belum ada pengakuan positif atas mereka. Karena tidak terbiasanya bergaul dengan anak-anak yang berkepribadian khhusus. Padahal mereka sangat membutuhkan pengakuan tersebut sebagai mausia seutuhnya.

Pendidikan Inklusif solusinya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan peluang baru bagi pendidikan anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan penyelenggaraan pendidikan yang mampu menampung siswa ABK untuk belajar bersama secara berdampingan dengan anak normal dalam satu atap sekolah yang sama. Ini menjadi pembelajaran timbal balik di antara keduanya. Siswa yang normal mampu meneriama keberadaan siswa ABK, dan sebaliknya bagi siswa ABK memperoleh kesempatan belajar yang sama porsinya dengan siswa yang normal. Ini merupakan pembelajaran realistis penerimaan dan pengakuan ABK di masyarakat.
Meski banyak kendala bagi sekolah dalam mengadakan pendidikan inklusi, namun pengembangannya terus diperbaiki. Karena memang membutuhkan tenaga pengajar yang ekstra juga. Baik kompetensi keguruannya sebagai tenaga lapangan yang berhadapan langsung dengan peserta didik, mupun kompetensi sekolah sebagai lembaga yang harus menyediakan sarana prasarana (sarpras) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Pendidikan inklusi merupakan bentuk pengakuan terhadap rasa kemanusiaan. Pengakuan inilah yang menjadi peluang bagi anak berkepribadian khusus untuk mengeksplorasi dirinya sebagaimana manusia normal.  Menghilangkan jarak di antara keduanya.

0 komentar:

Posting Komentar