Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam:
Pandangan Ali Syari’ati
Oleh: Raden Mas Awie Indra Tanaya
Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan
Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan
kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan
sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam
Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil
membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib
mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang
sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian,
menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified
sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang
menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah.
Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk
“mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam,
guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial
politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual
maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah
doktrin imâmah. Karena imam itu maksum dan
menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah
yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh
kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam
temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah
“dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki
oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang
diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam
sejati”
Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah,
orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya
konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun,
sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama,
termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam
Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan
raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa
menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki.
Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu
pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih
atau dewan fuqahâ.
Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak
setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa
jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan
cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati
bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para
imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para
pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika
hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya
tidak jarang Syari’ati dituduh oleh sementara ulama sebagai “agen Sunni,
Wahabiyah, dan bahkan Komunisme”.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para
eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama
mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim
menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan
Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual
merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah
revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih
dari itu, kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar
kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di
bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari
terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama
telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan
istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang
tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan
selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E. Chelabi adalah salah seorang yang sependapat
dengan Syari’ati tentang ketidakberhakan kelompok ulama secara otomatis menjadi
pemimpin politik. Sebagaimana digambarkannya:
Ayâtullah Shariatmandari repeatedly stated his opposition to having popular
soverighnity restricted. Arguing that “member of clergy, whose role is a
spiritual one, should not interface in affair of state”, he would accept a
political leadership role for the clergy only when the state passed
anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power vacuum. (Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan
oposisinya untuk mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota
ulama, siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat
dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk ulama
sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang tidak Islami,
atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan
partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem politik
demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan
dua unsur yang sangat dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh tokoh-tokoh
“nasionalis-liberal” seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan, dan Bani Sadr.
Syari’ati kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi
pemimpin umat adalah intelektual yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang
terpanggil untuk memperbaiki nasib umat dari ketertindasan dan mengembalikah
hak-hak rakyat agar mereka bisa menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa
harus merasa khawatir terjadi kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr, merujuk kepada mereka yang melakukan tugas mental
(sebagai alawan tugas manual). Tidak semua intelektual adalah tercerahkan,
tetapi menurut Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan, misalnya,
Sattar Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang intelektual yang
bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang intelektual tetapi
tidak tercerahkan.
Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok
orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan
“keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya.
Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa tanggungjawab
sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan orang-orang
masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan pranan
para nabi dan pendiri agama-agama besar – yaitu para pemimpin yang mendorong
terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka
itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan
karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan
tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik
dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat.
Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah
masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang
mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial
ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling
berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk
mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi
kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk
eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan
“tanpa kelas” (classes). Lantas siapa yang akan
menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang
tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis
revolusi nasional maupun sosial:
Although not a prophet, an enlightened soul should play the role of the
prophet for his society. He should preach the call for awareness, freedom and
salvation to the deaf and unhearing ears of the people, inflame the fire of a
new faith in their hearts, and show them the social direction in their stagnant
society. This is not a job for the scientists, because they have a clear-cut
responsibility: understanding the status quo and discovering and employing the
forces of nature and of man for the betterment of the material life of the
people. Scientists, technicians, and artists provide scientific assistance to
their nations, or to the human race, in order to help them to improve their lot
and be better at what “they are.” Enlightened souls, on the other hand, teach
their society how to “change” and toward what direction. They foster a mission
of “becoming” and pave the way by providing an answer to the question, “What
should we become?” (Meskipun bukan
Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai Nabi bagi
masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi
telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di
dalam hati mereka, dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat
mereka yang mandek. Ini bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai
tanggungjawab yang pasti: memahami status quo dan
menemukan serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya manusia untuk
memperbaiki kehidupan material rakyat. Para ilmuwan, teknisi, dan seniman
memberikan bantuan ilmiah kepada bangsa mereka, atau kepada umat manusia, untuk
memperbaiki nasib mereka agar keadaanya emnjadi lebih baik. Orang-orang yang
tercerahkan, sebaliknya, mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya
“berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi
“menjadi” dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan
menjadi apa kita ini?”.
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang
besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan
masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan
rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik
masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi
nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada
sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya,
ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan
rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang
tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis
yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih
menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat
sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta
faktor internal dan eksternal.
Peran rausanfikr
dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa
yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik.
Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual
tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada
persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya
intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator
politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus
mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih
dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis,
sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam
semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, rausanfikr
adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran
dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan
jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk
terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang
meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan
penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju
perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis rausanfikr.
Dari seluruh bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang
Islam dan revolusi di atas, sumbangan terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam
kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial,
seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said
yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu
sosial “Barat” yang selama ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling
monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang
menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran
kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu
saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami
“ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu,
tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang
biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement”
menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Dengan teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia
ketiga, seperti Iran, membutuhkan “double movement” atau gerakan ganda
revolusi, yaitu pertama, revolusi nasional
yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Barat,
tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the country’s
culture, heritage, and national identity).
Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan kelas,
kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu dapat
dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka – para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam
kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomeini tertuang gagasannya tentang Wilayah al-Faqih.
Istilah Wilâyah al-Faqîh (Velayat-i Faqih atau Wilayat-i Faqih
atau Wilâyatul Faqîh) diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “governance
by the yurisprudent”, atau “guardiarship of the juristconsult”, “
atau “mandate of the jurist” atau “the purported authority of the
yurisprudent”. Lihat Michael M.J. Fischer, Iran: From Religious Dispute
to Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1980), hlm. 153. Wilâyah
al-Faqîh mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara
dan juga tujuan yang ingin dicapainya. Wilâyah al-Faqîh juga merupakan “blue
print” bagi suatu reorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah “handbook”
bagi Revolusi Islam Iran. Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.),
Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian ( Bandung: Mizan,
2000), hlm. 61
Syarat-syarat
seorang faqih agar bisa
memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1) mempunyai pengetahuan yang
luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq
yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4) jenius; 5) memiliki
kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh asing; 7) mampu
mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah
Islam, sekalipun harus dibayar denagn nyawanya; dan hidup sederhana. Lihat
Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre,
1983), hlm. 52-53
Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang
berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang emmpengaruhi
kesejahteraan umat manusia.
Refference:
Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk
Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm.
25
H.E. Chehabi, “Religion and Politics in Iran”, dalam Daedalus,
Volume 120, No. 3 (Summer 1991: 69-91), hlm. 77
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan
Untuk Para Intelektual Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998),
cet. VI, hlm. 42
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 1999), hlm. 142-145
Made Pramono, “Melacak Basis Epitemologi Antonio
Gramsci”, dalam Listiyono Santoso (ed.), Epitemologi Kiri (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003), hlm. 85
sumber : http://pemikiranislam.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar