Utekke Global, Lakune Lokal

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Juni 2012

Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam: Pandangan Ali Syari’ati


Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam:
 Pandangan Ali Syari’ati
Oleh: Raden Mas Awie Indra Tanaya

Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah. Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati”
Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya tidak jarang Syari’ati dituduh oleh sementara ulama sebagai “agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan Komunisme”.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu, kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E. Chelabi adalah salah seorang yang sependapat dengan Syari’ati tentang ketidakberhakan kelompok ulama secara otomatis menjadi pemimpin politik. Sebagaimana digambarkannya:
Ayâtullah Shariatmandari repeatedly stated his opposition to having popular soverighnity restricted. Arguing that “member of clergy, whose role is a spiritual one, should not interface in affair of state”, he would accept a political leadership role for the clergy only when the state passed anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power vacuum. (Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan oposisinya untuk mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota ulama, siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk ulama sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang tidak Islami, atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem politik demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh tokoh-tokoh “nasionalis-liberal” seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan, dan Bani Sadr.
Syari’ati kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat adalah intelektual yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang terpanggil untuk memperbaiki nasib umat dari ketertindasan dan mengembalikah hak-hak rakyat agar mereka bisa menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa harus merasa khawatir terjadi kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr, merujuk kepada mereka yang melakukan tugas mental (sebagai alawan tugas manual). Tidak semua intelektual adalah tercerahkan, tetapi menurut Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan, misalnya, Sattar Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang intelektual yang bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang intelektual tetapi tidak tercerahkan.
Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar – yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat.
Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Although not a prophet, an enlightened soul should play the role of the prophet for his society. He should preach the call for awareness, freedom and salvation to the deaf and unhearing ears of the people, inflame the fire of a new faith in their hearts, and show them the social direction in their stagnant society. This is not a job for the scientists, because they have a clear-cut responsibility: understanding the status quo and discovering and employing the forces of nature and of man for the betterment of the material life of the people. Scientists, technicians, and artists provide scientific assistance to their nations, or to the human race, in order to help them to improve their lot and be better at what “they are.” Enlightened souls, on the other hand, teach their society how to “change” and toward what direction. They foster a mission of “becoming” and pave the way by providing an answer to the question, “What should we become?” (Meskipun bukan Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai Nabi bagi masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka, dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat mereka yang mandek. Ini bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai tanggungjawab yang pasti: memahami status quo dan menemukan serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya manusia untuk memperbaiki kehidupan material rakyat. Para ilmuwan, teknisi, dan seniman memberikan bantuan ilmiah kepada bangsa mereka, atau kepada umat manusia, untuk memperbaiki nasib mereka agar keadaanya emnjadi lebih baik. Orang-orang yang tercerahkan, sebaliknya, mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi “menjadi” dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan menjadi apa kita ini?”.
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal.
Peran rausanfikr dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, rausanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis rausanfikr.
Dari seluruh bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi di atas, sumbangan terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami “ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Dengan teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan “double movement” atau gerakan ganda revolusi, yaitu pertama, revolusi nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the country’s culture, heritage, and national identity). Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka – para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomeini tertuang gagasannya tentang Wilayah al-Faqih. Istilah Wilâyah al-Faqîh (Velayat-i Faqih atau Wilayat-i Faqih atau Wilâyatul Faqîh) diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “governance by the yurisprudent”, atau “guardiarship of the juristconsult”, “ atau “mandate of the jurist” atau “the purported authority of the yurisprudent”. Lihat Michael M.J. Fischer, Iran: From Religious Dispute to Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1980), hlm. 153. Wilâyah al-Faqîh mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara dan juga tujuan yang ingin dicapainya. Wilâyah al-Faqîh juga merupakan “blue print” bagi suatu reorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah “handbook” bagi Revolusi Islam Iran. Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian ( Bandung: Mizan, 2000), hlm. 61
Syarat-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4) jenius; 5) memiliki kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh asing; 7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar denagn nyawanya; dan hidup sederhana. Lihat Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre, 1983), hlm. 52-53
Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang emmpengaruhi kesejahteraan umat manusia.


Refference:
Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 197
A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik…, hlm. 63
Erward Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 322
Ervand Abrahamian, Radical Islam: The Iranian Mojahedin (London: I.B. Tauris, 1989), hlm. 112-113
Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 25
H.E. Chehabi, “Religion and Politics in Iran”, dalam Daedalus, Volume 120, No. 3 (Summer 1991: 69-91), hlm. 77
Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.
Ibid.
Azra, “Akar-Akar Ideologis …”, hlm. 70
Syari’ati, “Where shall we begin?”.
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), cet. VI, hlm. 42
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 1999), hlm. 142-145
Made Pramono, “Melacak Basis Epitemologi Antonio Gramsci”, dalam Listiyono Santoso (ed.), Epitemologi Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 85
sumber : http://pemikiranislam.wordpress.com

PENDIDIKAN INKLUSI; HUMANISASI ANAK BERKEPRIBADIAN KHUSUS


PENDIDIKAN INKLUSI; HUMANISASI ANAK BERKEPRIBADIAN KHUSUS
oleh: Kang Awie

Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Menjadi hal yang tak asing lagi bagi kita semua, barangkali ini merupakan sedikit refleksi atas kenyataan yang tak kita sadari. Beruntung kita bisa mengenyam pendidikan yang menuntun kita menuju insan kamil. Menjadi manusia mandiri yang memiliki “kesanggupan untuk berdiri sendiri-tidak bergantung pada pertolongan orang lain” (Tauchid, 1963: 37). Proses pendidikan seperti ini barangkali menjadi hal yang asing bagi anak berkepribadian khusus (ABK). Padahal telah disebutkan di atas bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama. Tidak hanya sebatas permasalahan kurangnya sekolah yang mampu menerima anak/siswa yang berkepribadian khusus (ABK), namun penyediaan sekolah khusus pun hanya sebatas di kot-kota besar dan belum menjangkau di daerah-daerah terpencil.
Selama ini penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkepribadian khusus memang telah disediakan oleh pemerintah. Misal salah satu lembaga formal pendidikan ini yakni Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB yang telah ada sampai saat ini yaitu: SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Keberadaan sekolah ini pun masih tersasa belum mampu memenuhi hak pendidikan atas setiap warga negara. Pertama, lokasi SLB masih berada di sekitar kota-kota bersar saja/tingkat Kabupaten. Hal ini belum bisa dijangkau bagi ABK  di daerah-daerh terpencil. Yang kedua Alasan klasik yakni biaya. Permasalahan biaya sudah menjadi rahasia umum. Kesejahteraan tidak akan terselenggara saat sumber daya manusianya masih berkualitas rendah, tentunya dalam hal ini pendidikan menjadi peran utamanya.
Keberadaan SLB memang sangat membantu akan pengakuan keberadaan anak berkepribadian khusus dalam memperoleh hak pendidikan. Akan tetapi, dalam realitanya dikotomi lembaga pendidkan antara sekolah biasa dan sekolah luar biasa (SLB) menjadikan semakin jelasnya pengucilan anak berkepribadian khusus (ABK). Keberadaannya dalam masyarakat masih diakui sebagai anak yang berbeda dan jarang orang yang mau bergaul/peduli terhadap mereka. Dengan kata lain belum ada pengakuan positif atas mereka. Karena tidak terbiasanya bergaul dengan anak-anak yang berkepribadian khhusus. Padahal mereka sangat membutuhkan pengakuan tersebut sebagai mausia seutuhnya.

Pendidikan Inklusif solusinya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan peluang baru bagi pendidikan anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan penyelenggaraan pendidikan yang mampu menampung siswa ABK untuk belajar bersama secara berdampingan dengan anak normal dalam satu atap sekolah yang sama. Ini menjadi pembelajaran timbal balik di antara keduanya. Siswa yang normal mampu meneriama keberadaan siswa ABK, dan sebaliknya bagi siswa ABK memperoleh kesempatan belajar yang sama porsinya dengan siswa yang normal. Ini merupakan pembelajaran realistis penerimaan dan pengakuan ABK di masyarakat.
Meski banyak kendala bagi sekolah dalam mengadakan pendidikan inklusi, namun pengembangannya terus diperbaiki. Karena memang membutuhkan tenaga pengajar yang ekstra juga. Baik kompetensi keguruannya sebagai tenaga lapangan yang berhadapan langsung dengan peserta didik, mupun kompetensi sekolah sebagai lembaga yang harus menyediakan sarana prasarana (sarpras) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Pendidikan inklusi merupakan bentuk pengakuan terhadap rasa kemanusiaan. Pengakuan inilah yang menjadi peluang bagi anak berkepribadian khusus untuk mengeksplorasi dirinya sebagaimana manusia normal.  Menghilangkan jarak di antara keduanya.

Minggu, 10 Juni 2012

REINVENSI PERAN PEMUDA DALAM PERKEMBANGAN POLITIK BANGSA


REINVENSI PERAN PEMUDA DALAM PERKEMBANGAN POLITIK BANGSA
Oleh: Ahmad Munawir

Pemuda menjadi tunas masa depan bangsa. Pemuda merupakan harapan titik temu kemajuan dan kecemerlangan bagi pertiwi. Terdapat dalam RUU kepemudaan, definisi pemuda adalah orang yang berusia 18 s.d 35 tahun. Batas usia ini menjadi perdebatan menarik dalam dunia akademis guna mencapai formulasi yang tepat melihat kondisi demografi kepemudaan bangsa Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia sendiri peran pemuda juga begitu dominan dalam pergerakan bangsa ini, bahkan banyak peristiwa yang ditoreh pemuda hingga bersifat dan tertanam di ingatan sebagai suatu bentuk manifesto yang menumental. Kalau kita flashback pada sejarah perjuangan bangsa Indonesia peran pemuda begitu dahsyat. Pemuda tampil sebagai sesosok patriot, pejuang, pelopor pembaharu, dan pengawal kemerdekaan. Banyak hal yang ditoerh pemuda dalam perjuangannya. Setidaknya banyak bentuk ragam wadah yang dibentuk pemuda dalam rangka mempelopori perjuangan bagi pembebasan pertiwi, Karya-karya monumental para pemuda Indonesia itu dapat kita telusuri dalam berbagai peristiwa bersejarah di seluruh penjuru nusantara ini, antara lain dapat saya sebutkan:
1.      Boedi Oetomo (20 Mei 1908) atau yang dikenal Kebangkitan Nasional
2.      Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)
3.      Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945)
4.      Transisi politik 1966, di mana para pemuda dan mahasiswa mempelopori sebuah perubahan politik yang dramatis, mengantarkan munculnya era Orde Baru yang tergabung dalam KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), dan sebagainya.
5.      Serta Gerakan Reformasi 1998 yang lebih dikenal dengan Tragedi Semanggi (Berakhirnya rezim Soeharto).
Secara umum terdapat dua sudut pandang yang membuat posisi pemuda strategis dan istimewa yaitu kualitatif dan kuantitatif:
Secara Kualitatif, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Idealisme yang dimaksud adalah hal-hal yang secara ideal mesti diperjuangkan oleh para pemuda, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Secara Kuantitatif, terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 210 juta orang. Menurut data terakhir Depdiknas terkait dengan jumlah tersebut, bahwa apabila kelompok yang dikategorikan generasi muda atau yang berusia diantara 18–35 tahun, diperkirakan berjumlah lebih dari 80,8 juta jiwa atau 36.4 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Sebagian besar dari kelompok usia ini adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan. Karenanya bisa dipahami bahwa pemuda berpeluang menempati posisi penting dan strategis, sebagai pelaku-pelaku pembangunan maupun sebagai generasi penerus untuk berkiprah di masa depan.
Banyak segi yang dimasuki pemuda dalam rangka menyampaikan aspirasi dan perjuangannya. Salah satunya dalam bidanmg politik, pemuda banyak memiliki kontribusi konkrit guna suksesi demokratisasi bangsa. Pemuda Indonesia juga harus berani melakukan otokritik, sekaligus membenahi diri, meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, dan siap berkiprah di tengah-tengah masyarakat, mewarnai di berbagai lini kehidupan bangsa. Bangsa ini membutuhkan peran dan sumbangsih kalangan pemuda secara nyata, sehingga tentu sesungguhnya tugas dan peran pemuda tidaklah ringan. Pemuda Indonesia diharapkan mampu mengambil setiap peluang yang ada dan memanfaatkannya secara baik, demi kemajuan bangsa. Masa depan bangsa ini terletak di tangan pemuda karena pemuda adalah Agen Peubah (Agent of Change) dan Agen Analisis (Agent of Analysis), yang senantiasa memprakarsai perubahan-perubahan untuk kemaslahatan dan menganalisis problematika bangsa kita.
Kelak pemuda akan menjadi pemimpin bangsa,hal ini harus dipersiapkan dengan baik dan matang, sehingga peran pemuda hendaklah direvitalisasi sejak dini, sebab dalam sebuah kepemimpinan dibutuhkan integritas, kapasitas, juga pengalaman dan kematangan emosional. Ujung dari semua itu adalah kebijaksanaan (wisdom) dan kebijakan (policy). Hal krusial dalam permasalahan ini adalah bagaimana seorang pemimpin muda mampu memutuskan kebijakan secara bijak, cepat dan tepat, berdampak bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat dalam membangun daerah, dan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan konteks usia, bagi mereka yang mampu boleh bersaing dalam percaturan politik bangsa untuk memimpin Negara ini menuju pencitraan yang lebih baik.
Selanjutnya pemuda saat ini harus mempersiapkan diri, diantara persiapan itu adalah mempersiapkan diri dalam proses pengkaderan kepemimpinan bangsa, yang dapat dilakukan melalui beragam penempaan diri. Pemuda harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain: kemampuan (ability), kapasitas (capacity), keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya adalah; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).
Pemuda Indonesia hendaknya memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin harus totalitas dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality) lebih jauh dalam membangun daerah dengan potensi SDM dan SDA yang ada.
Pemuda yang terjun langsung dalam dunia poklitik praksis,haruslah memiliki pemahaman bahwa berpolitik merupakan panggilan dan memiliki tujuan mulia, maka konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumberdaya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif (bukan kontraproduktif) yang akhir-akhir ini sudah memudar.
Pemuda merupakan sosok yang menjadi potensi bagi kepemimpinan bangsa masa depan. Atas kesadaran itu, maka kaderisasi-kaderisasi kepemimpinan yang melibatkan kalangan pemuda secara intensif perlu terus ditingkatkan. Akan tetapi peran pemuda dalam roda pemerintahan tetaplah krusial. Banyak contoh di berbagai Negara, dimana titik tolak perubahan justru berawal dari perjuangan pemuda. Setidaknya ada dua rahasia besar kekuatan pemuda, yaitu kekuatan personal dan keunggulan mengorganisasi kekuatan. Al-qur’an mengabadikan keunggulan personal pemuda yang mempunyai sifat qowiyyun amiin (kuat dan dapat dipercaya), hafiidzun aliim (amanah dan berpengetahuan luas), bashthotan fil ‘ilmi wal jism (kekuatan ilmu dan fisik), ra’uufun rohiim (santun dan pengasih). Sifat-sifat unggul tersebut merupakan potensi besar, yang menumpuk pada individu pemuda, dimana masyarakat sangat mengharapkannya.
Rahasia berikutnya adalah keunggulan mengorganisasi kekuatan. Ada setidaknya lima faktor prinsip yang dipegang pemuda, dalam mengorganisasi kekuatan mereka, yaitu:
1.      Kekuatan asas perjuangan
2.      Kekuatan konsep dan metode perjuangan
3.      Kekuatan persatuan
4.      Kekuatan sikap dan posisi perjuangan
5.      Kekuatan aksi dan opini: memiliki isu sentral, konsistensi misi, imun dalam perjuangan, kesinambungan aksi dan opini.
dewasa ini telah Nampak, dimana pembangunan fisik dan mental negeri bergerak sangat lambat. Banyak bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai, masih juga belum diperbaiki, padahal keadaan itu sudah berlangsung lama. Atau proyek jalan tol yang terbengkalai bertahun-tahun. Belum lagi masalah kualitas pendidikan kita, yang hampir semuanya berorientasi membentuk kuli. Ini hanya secuil bagian dari besarnya masalah dalam pembangunan negeri ini.
Selanjutnya pertanyaan bagi pemuda bagaimana sikap yang harus ditentukan olehnya? Setidaknya ada beberapa fakta yang mesti diperhatikan para pemuda, sebagai agen akselerator transformasi. Pemuda, adalah kelompok usia produktif yang memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan status sosial ekonomi yang relatif mapan dan akan masuk ke dalam kelas menengah. Padahal, peran elit (the rolling class) dan kelas menengah (middle class) sangat siginifikan dalam menggerakkan dan mengarahkan perubahan sosial, sebagai salah satu pilar pembangunan. Dan, The Rolling Class ini dibentuk dari kelas menengah, yang terdiri dari kelompok-kelompok strategis dari kalangan intelektual, pengusaha, birokrat dan militer. Untuk melakukan mobilitas vertikal dan masuk ke dalam kelas menengah haruslah berbasis kompetensi, bukan patronase politik.
Realita di atas secara otomatis melahirkan agenda strategis, dalam rangka mempelopori akselerasi pembangunan ini. Agenda tersebut tidak lain adalah mengelola dengan baik dan profesional seluruh insitusi kepemudaan (seperti HMI, PMII, IPNU, IMM, GMNI dsb), sebagai sarana perekrutan pemuda-pemuda potensial Indonesia dalam usia produktif. Selanjutnya, penguatan kelas menengah pemuda sebagai kandidat elit (the rolling class) dalam konteks sirkulasi kepemimpinan lokal dan nasional.
Dalam tataran aplikasinya, untuk saat ini, aktivis pelajar dan mahasiswa bisa bergabung dalam organisasi Massa. Lebih mengkerucut lagi, bisa ormas politik. Dimulai dari aktivitas-aktivitas politik organisasi di kampus seperti BEM dan UKM atau di Sekolah seperti OSIS, MPK dan Pramuka. Untuk pemuda yang sudah tidak lagi mahasiswa, mereka bisa berkecimpung lebih dalam di organisasi-organisasi keprofesian yang independen. Ini semua tidak lain adalah untuk mempertajam kompetensi dan profesionalisme, agar ketika mereka sudah menjadi bagian dalam the rolling class, mereka sudah siap.
Dengan kesiapan para pemuda menjalani the rolling class, akselerasi pembangunan dapat dimaksimalkan. Harapan ini tentulah bukan sebuah khayalan. Sejarah Indonesia sendiri telah menghasilkan individu-individu yang membanggakan, contohnya, M. Natsir. Percepatan pembangunan harus dimulai dengan perubahan mental dan cara berfikir. Walaupun pemerintahan saat ini sudah on the track, tapi jalannya masih lambat. Dengan kematangan mental dan perbedaan cara berfikir yang segar, the next rolling class siap membantu dan mengakselerasi pembangunan negeri dalam hal ini adalah pemuda.
Konteks Peran Pemuda dalam Memanifestasikan Perubahan Bangsa, pemuda hendaknya tidak lagi hanya terpaku pada persoalan-persoalan lokal dan nasional, tetapi tanpa menyadari konteks internasional. Ajakan John Nesbit perlu dilakukan: yaitu "Think Globally, Act Locally" bahwa walaupun kita bertindak lokal (nasioanal), tetapi cara berpikirnya adalah global. Bahwa pemuda hidup di dalam komunitas internasional, yang sedkit banyak akan membawa pengaruh bagi dinamika aneka kehidupan lokal dan nasional.